Tanah di Bali secara umum dikuasai oleh Desa Adat, namun dalam pengelolaannya diserahkan kepada warga masyarakat sebagai krama desa dengan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam awig-awig maupun perarem desa adat setempat. Tanah-tanah tersebut di Bali populer dengan sebutan tanah ayahan desa ( tanah AYDS / tanah PKD ). Yang berfungsi sebagai fungsi sosial dalam rangka memenuhi kewajiban dalam kegiatan adat istiadat yang berlaku di desa pekraman setempat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan pertumbuhan penduduk yang berkembang dengan pesat sedangkan lokasi tanah yang ada sudah tidak memadai, sehingga fungsi sosial tanah berubah menjadi fungsi ekonomi yang dapat menjadi bahan sengketa dalam rumah tangga seperti halnya yang terjadi di desa Takmung Kecamatan Banjarangkan.
Sengketa terjadi pada 5 bersaudara yang mengklaim mempunyai hak untuk tinggal di tanah ayahan desa yang pada awalnya secara komposisi keluarga yang bersangkutan punya saudara sebanyak 5 orang masing-masing bernama I Gst Ngurah Raka, I Gst Gede Mudana, I Gst Ngurah Wirya, I Gst Ngurah Rai dan yang paling kecil I Gst Ngurah Anom. Menurut aturan adat bahwa anak yang paling kecil (bungsu) yang wajib tinggal di rumah (tanah ayahan desa) namun dalam hal ini I Gst Ngurah Rai yang merupakan anak keempat yang tinggal sendiri di Rumah Tua (Tetamian) karena keempat saudaranya termasuk anak yang paling kecil sudah tinggal di luar Desa Adat Pekraman Takmung. Namun ketika I Gst Gede Mudana dan saudara-saudaranya berniat akan membangun ditanah ayahan desa tersebut dengan maksud untuk ditempati pada saat ada kegiatan upacara di desa, I Gst Ngurah Rai merasa keberatan dan melarangnya.
Berdasarkan hal tersebut Bhabinkamtibmas Desa Takmung Bripka I Wayan Tengah Suarjana, Bendesa Adat Pekraman Takmung I Wayan Sukadana, SH., dan Kelian Banjar Adat Takmung I Wayan Windi melakukan mediasi terhadap permasalahan tersebut, bahwa ketiga saudaranya berhak tinggal dan membangun di tanah ayahan desa tersebut karena statusnya sebagai warga desa adat Takmung kecuali I Gusti Ngurah Anom yang sudah keluar dari desa adat Takmung dan menjadi warga adat Kamasan. Atas penjelasan yang disampaikan maka semua pihak terutama I Gst Ngurah Rai dapat memahaminya dan menerima penjelasan dari para mediator sehingga kehidupan keluarga menjadi rukun, akur, saling menerima dan saling menghormati satu sama lain. Dan apabila dikemudian hari terjadi perselisihan atau kesalahpahaman agar diselesaikan secara kekeluargaan dengan pikiran yang jernih.