Pemolisian Demokratik / Democratic Policing

Pemolisian Demokratik (Democratic policing)

Oleh Hendrik Andrianto, M.Si

Paur Humas Subbag Humas Polres Klungkung

Biasanya asosiasi kita yang terkait dengan demokrasi tidak jauh dengan pemilu, kebebasan berbicara , unjuk rasa, demonstrasi dan sebagainya. Lalu apa yang dimaksud dengan pemolisian demokratik itu?  Penulis kali ini akan mencoba menjelaskan tentang kegiatan kepolisian yang demokratik.Dalam menjalankan kegiatan kepolisian yang bersifat demokratis, tak ubahnya dengan persoalan warga negara saat menerima pelayanan publik yang diselenggarakan oleh negara seperti layanan PAM, PLN, Telepon dan sebagainya. Dengan kata lain jasa publik yang diselenggarakan oleh negara tidak akan menghilangkan hak masyarakat untuk tahu, misalnya mengetahui apakah yang diterima itu haknya atau apakah yang diterima itu sudah pantas. Artinya, mereka sebagai warga negara tidak kehilangan hak sipilnya untuk berbicara mengenai penolakan atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik atas jasa yang diselenggarakan oleh negara. Tidak hilangnya hak warga negara dalam hal mengkritisi dan atau mengargumentasikan hubungan antara masyarakat dengan jasa publik yang diterima tersebut  merupakan esensi lain dari demokrasi yang selama ini diasosiasikan dengan pemilu, kebebasan berbicara, unjuk rasa demonstrasi dan sebagainya.

Demokrasi bukan berarti bahwa semuanya serba boleh melakukan apa saja semaunya, serba bebas dan sebagainya. Ada doktrin dalam wawasan kebangsaan yang dinyatakan oleh Epter (1999) perihal “bukan serba boleh” . Artinya ada aturan yang mesti dipatuhi, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (polisi). Apabila suatu negara terjebak pada paham “serba boleh” maka yang terjadi adalah tirani, kezaliman dan kesewenang-wenangan. Demikian juga apabila masyarakat juga terjebak pada paham “serba boleh” itu maka yang akan terjadi adalah chaos, kekacauan dan kehancuran bangsa yang bersangkutan.
Demikian juga terkait dengan isu demokratisasi. Policing atau kegiatan kepolisian  telah menjadi salah satu isu.  Landasan untuk menjadikan kegiatan pemolisian dalam demokrasi adalah pemahaman bahwa polisi merupakan salah satu alat negara yang kepadanya dimintakan jasa-jasa pelayanan publik oleh masyarakat. Jasa-jasa publik yang diberikan oleh polisi tersebut dapat ditolak atau diterima oleh masyarakat termasuk dalam hal ini mengkritisinya. Namun, bukan pula menghilangkan hak sipil masyarakat sebagai warga negara.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan lama yang menilai negara dalam konteks apernano. Artinya, negara dipandang sebagai tempat bernaungnya sejumlah orang, dalam bentuk negara paternalistik. Dalam pandangan negara paternalistik, warga negaranya dianggap sebagai orang-orang yang mengabdi dan tidak seyogyanya meminta tambahan apabila diberi gaji atau mengkritisi kebijaksanaan pemerintah, dengan kata lain apapun yang dikerjakan oleh warganya merupakan hasil perjuangan aparat pemerintah kepada negaranya.
Dalam pandangan moderen, negara atau publik berada dalam tatanan dan derajat yang sama (equal). Namun, sebagaimana dikatakan oleh beberapa kritikus, peran non negara dewasa ini semakin kuat dalam bentuk akses dan kemampuan untuk mengkritisi berbagai bentuk jasa pelayanan publik. Sebab, pemerintah bisa saja mengatakan bahwa hanya sebatas itulah yang mampu dilakukannya, padahal sebenarnya pemerintah dapat memberikan lebih daripada yang seharusnya diterima masyarakat. Kalau kita melihat negara yang penuh dengan berbagai kekurangan, hal itu tidak lain disebabkan karena adanya salah urus, inefisiensi, korupsi, kesalahan manajemen atau mendahulukan kepentingan kelompok dan sebagainya.
Dengan menyadari bahwa policing merupakan salah satu isu demokratisasi oleh masyarakat maka akan menimbulkan beberapa permasalahan. Pertama, pihak-pihak yang menjalankan aktivitas kepolisian (misalnya satpam, satpol PP dsb) belum siap dengan adanya perubahan. Mereka beranggapan bahwa jasa yang mereka berikan tidak hanya jasa variabel tetapi juga primer yang tidak hanya dilakukan oleh polisi. Kedua, muncul kemampuan dari masyarakat sendiri untuk mengusahakan alternatif. Kalau dulu masyarakat tanpa polisi tidak dapat berbuat apa-apa maka sekarang masyarakat dapat memberikan solusi alternatif tentang hal mana yang perlu diamankan. Akibatnya tanpa kehadiran polisi sebagai pemberi jasa pelayanan publik, masyarakat tetap mampu dan bersedia menggaji tinggi satpam, memiliki pistol, memasang pagar tinggi memiliki bodyguard sendiri dan sebagainya. Akibatnya polisi cenderung konservatif terhadap upaya pemolisian itu sendiri.
Terkait dengan kegiatan pemolisian yang demokratis maka timbul pertanyaan ;
Pertama, seperti apakah sebenarnya pemolisian yang demokratis itu ?  Untuk menjawab pertanyaan ini maka terlebih dahulu mengetahui apa yang menurut Travis (1983:3) yang dinamakan dengan prinsip-prinsip pemolisian demokrasi, yaitu ;
1.    Polisi harus bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Artinya, dalam konteks operasional polisi harus dilatih dalam hal hukum, harus memahami standar-standar HAM internasional dan harus bertindak sesuai dengan KUHP. Operasi-operasi polisi itu sendiri harus diatur dengan kebijakan tertulis yang dapat dengan mudah diakses oleh publik. Dengan kata lain, manajemen, eksekusi dan pembentukan semua kegiatan kepolisian harus merefleksikan adanya komitmen terhadap “rule of law”.
2.    Polisi sebagai pemegang /penerima kepercayaan publik harus dianggap sebagai profesional yang tindak tanduknya diatur oleh undang-undang mengenai tindak tanduk profesi. Undang-undang ini harus merefleksikan nilai-nilai etika yang paling tinggi dan harus menyediakan dasar-dasar agar tindak tanduk yang salah dapat diadili dan diambil tindakan disipliner.
3.    Polisi harus memiliki prioritas utama dalam melindungi kehidupan. Dengan demikian, penggunaan kekuatan yang mematikan hanya boleh dilakukan untuk menyelamatkan nyawa. Tindakan-tindakan penggunaan kekerasan atau kekuatan semacam harus diinvestigasi untuk menentukan apakah tindakan mereka telah memnuhi standar atau tidak.
4.    Polisi harus melayani masyarakat dan menganggap diri mereka bertanggungjawab pada masyarakat. Untuk mengimplementasikan prinsip ini, operasi-operasi yang dilakukan oleh polisi perlu transparan dan secara terbuka menyebarluaskan laporan tentang kejahatan dan operasi-operasi kepolisian serta menetapkan mekanisme pelayanan polisi. Bagi publik, perlu diciptakan atau dibentuk forum-forum diskusi terbuka tentang masalah-masalah kejahatan serta cara-cara untuk mengkaji tuduhan-tuduhan atas tindak tanduk polisi yang salah.
5.    Polisi harus menyadari bahwa perlindungan atas nyawa dan harta  benda adalah fungsi primer dari operasi polisi. Artinya penyelidikan kriminal sangat penting tetapi tujuan utama operasi polisi adalah mencegah kejahatan.
6.    Polisi harus bertindak, bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan derajat martabat manusia serta hak asasi manusia yang paling dasar. Artinya penyiksaan atau perlakuan kasar lainnya yang merendahkan derajat manusia tidak dapat dipraktekkan. Polisi-polisi yang melakukan tindakan tersebut harus melaporkan atau dilaporkan dengan tuduhan ata pelanggaran HAM.
7.    Polisi diharapkan melaksanakan tugas-tugas mereka dalam sikap atau cara yang non diskrimatif. Artinya diskriminasi atas dasar ras, sex, agama atau etnis dalam melakukan pelyanan kepolisian tidaklah sesuai dengan asas kegiatan dalam sebuah negara yang demokratis.

Pertanyaan kedua, bagaimana kita tahu apakah prinsip-prinsip demokrasi dijalankan atau tidak ? Jawabannya bergantung pada manajemen polisi dan pejabat publik yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk membentuk pengamat sipil atau pemantau sipil terhadap polisi. Mereka inilah yang bertanggungjawab untuk memastikan pelatihan personil merefleksikan prinsip-prinsip ini ; bahwa kebijakan-kebijakan dan tuntutnan-tuntunan yang tepat perlu dikembangkan ; bahwa ada transparansi publik ; serta bahwa hukum telah ditegakkan secara adil dan konsisten.
Disisi lain, pada suatu lembaga kepolisian yang mulai berusaha mengadopsi perkembangan tersebut, hal lain yang perlu dikembangkan adalah policing by consent (pemolisian dengan kesadaran). Policing by Concent adalah suatu upaya untuk menjadikan kepolisian sebagai variabel yang intensitasnya didasarkan pada kemauan policing recipient (orang yang menerima jasa kepolisian). Masyarakat berhak tahu dan berhak meminta atas kesadarannya sendiri, jasa-jasa kepolisian yang dibutuhkan. Diharapkan, polisi tidak memberikan jasa yang sama kepada semua orang mengingat kebutuhan setiap orang atas jasa kepolisian juga berbeda-beda. Sebagai pemberi jasa kepolisian, polisi tidak boleh lagi bersifat one way traffic, tetapi lebih bersifat aspiratif dalam menampung kemauan masyarakat dengan asumsi bahwa mesyarakat sudah tahu akibat-akibat dari pemolisian itu.  Menurut Kunarto (2001:16), polisi itu diadakan dan diberi kekuasaan serta kewenangan untuk melindungi, mengamankan,mengayomi masyarakat, dan menindak semua orang yang melanggar norma dan hukum yang  berlaku. Disamping itu polisi sendiri dibentuk dan dipetrankan oleh warga masyarakat yang sama. Berdasarkan kenyataan itulah terjadi hubungan yang bersifat korelatif yang sangat erat antara polisi dan masyarakatnya, ibarat ikan dan air, saling membantu, saling mendukung dan saling menghidupi.
Namun demikian ada semacam kritik terhadap policing by consent ini, yaitu, pertama, berkecenderungan soft approach (pendekatan yang lunak). Polisi lebih banyak mendengarkan saran dan tuntutan publik berkaitan dengan pengamanan yang lebih baik serta apa yang diinginkan publik berkaitan dengan gangguan kejahatan. Ataukah sebaliknya, polisi tidak harus mendengarkan masyarakat? Benarkah kritikan tersebut? Benar! Karena apabila polisi terlalu dekat dengan masyarakat maka akibatnya masyarakat akan menuntut agar penjahat yang ditangkap dilepaskan saja tidak perlu dilakukan penahanan, didamaikan saja karena menyangkut orang penting dan sebagainya. Akan tetapi apabila dikembalikan pada konteks demokrasi seharusnya polisi tidak perlu terlalu mendengarkan tuntuan masyarakat sebagai contoh ketika akan melakukan pendekatan yang keras (tough approach)
Kedua, dumb approach (pendekatan yang bodoh), yaitu pendekatan dimana polisi lebih banyak mendengarkan pendapat masyarakat. Yang dimaksud disini adalah bahwa tujuan dengan hanya mendengarkan pendapat masyarakat adalah agar polisi terlihat smart saja (pintar).
Dengan kembali ke masyarakat atau kembali ke publiknya,  polisi akan menemukan hal-hal baru, sehingga tidak ada kekhawatiran terhadap polisi yang sudah terbiasa dengan jasa publik yang telah baku. Hanya saja perlu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan kerjasama antara polisi dan masyarakat. Soekanto (1987:96) mengatakan ada empat faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu hukum itu sendiri, penegak hukumnya, fasilitas hukum dan norma masyarakat. Masyarakat sebagai sasaran belum tentu mematuhi norma hukum tersebut sehingga perlu ada sarana untuk memaksakan kepatuhan terhadap norma tersebut dengan memperhatikan, antara lain; (a) berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran; (b) membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka; (c) memanfaatkan sementara unsur pola tradisional untuk maksud tersebut; (d) menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran; (e) memilih waktu dan lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan perwujudan kaidah hukum tersebut; dan (f) memberikan teladan.









D

 

JoomlaWatch 1.2.12 - Joomla Monitor and Live Stats by Matej Koval