Polisi dan Resolusi Konflik
Oleh Hendrik Andrianto
Paur Humas Subbag Humas Polres Klungkung
Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Baik konflik yang kecil maupun konflik yang besar yang dapat mengganggu eksistensi individu, kelompok maupun masyarakat itu sendiri. Dengan mengetahui dan memahami konflik itu maka kita dapat merubah konflik sebagai ancaman terhadap eksistensi individu maupun masyarakat menjadi peluang untuk semakin memperkuatnya. Sebagai anggota polisi diharapkan setiap petugas di lapangan mampu mengidentifikasi dan mendeteksi dini terhadap munculnya konflik-konflik di masyarakat.
Tulisan ini mencoba memberikan sedikit pemahaman tentang konflik yang berguna bagi petugas di lapangan untuk mengidentifikasi dan mengenali secara dini serta menangani konflik-konflik yang mungkin muncul di masyarakat.
Konflik itu sendiri memiliki banyak asosiasi seperti ; perbedaan, pertentangan,kekerasan, benturan dan ketegangan. Arti konflik sendiri adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu interaksi yang bersifat antagonis (berlawanan, bertentangan atau berseberangan). Penyebab konflik bisa saja karena adanya perbedaan, kesenjangan dan kelangkaan kekuasaan termasuk juga perbedaan atau kelangkaan posisi sosial dan posisi sumber daya yang disebabkan sistem nilai dan penilaian yang berbeda secara ekstrim.
Konflik bisa terjadi antara individu-individu, antara kelompok, bahkan antara bangsa dan negara. Konflik sebagai proses dimulai apabila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif sesuatu yang dianggap penting oleh pihak lain.
Mengapa harus berkonflik? Pada umumnya konflik terjadi karena adanya dua pilihan yang sulit ditentukan, tetapi harus tetap dipilih. Seperti makan buah simalakama, dimakan, bapak mati, tidak dimakan, ibu mati. Berkonflik adalah salah satu opsi dalam kehidupan interaksi sosial. Melalui konflik, masalah dalam kehidupan interaksi sosial diyakini dapat terpecahkan. Asumsi bahwa konflik itu solutif bisa jadi tidak benar saat diterapkan. Pada awalnya, konflik dianggap sebagai sesuatu yang menyelesaikan masalah, akan tetapi, dipertengahan jalan, timbul permasalahan-permasalahan yang malah semakin memburuk. Dari konflik yang semakin memburuk yang tidak dapat diselesaikan itulah perlu jalan lain untuk menyelesaikannnya, yang secara metode disebut resolusi konflik.
Resolusi konflik adalah mengidentifikasikan ulang makna konflik guna tetap pada hakikatnya yaitu sebagai hal yang positif dan dapat memecahkan masalah. Beberapa model resolusi konflik adalah :
1. Hukum
Model ini sifatnya adalah upaya yang paling akhir. Yang paling penting dari model ini adalah adanya kepastian dari pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik. Jika tidak ada, sebaiknya gunakan model yang lain.
2. Mediasi (Mediation)
Model ini menggunakan pihak lain sebagai penengah. Pihak ketiga, sebagai penengah, harus bisa melakukan proses penyelesaian konflik dengan baik. Akan teapi tidak ada jaminan bahwa hasilnya akan memuaskan peihak-pihak tertentu atau memuaskan semua pihak.
3. Arbitrasi (Arbitration)
Model ini bermulau dari konflik perdagangan. Misalnya, menyelesaikan pemalsuan merk. Namun dalam penyelesaian model konflik ini tidak menjamin proses penyelesaian konflik, tetapi menekankan pada hasil penyelesaian konflik.
4. Family Conference
Model ini banyak dipakai di negara-negara Barat untuk penyelesaian konflik yang tidak terlalu serius dan melibatkan dua keluarga atau lebih dalam konflik. Partisipasi pihak-pihak terkait bersifat sukarela.
5. Musyawarah untuk mufakat ( Alternative Dispute Resolution)
Model ini merupakan alternatif penyelesaian masalah dengan menggunakan pihak ketiga dilingkungan mereka, yaitu pihak yang dianggap mampu untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun model ini tidak menjamin proses maupun hasil akan terselesaikan dengan baik.
6. Komisi Ombusman (Ombudsman)
Komisi Ombusman adalah lembaga independen yang bersifat netral. Mereka mempunyai profesi yang khas dan bersifat netral. Penyelesaian konflik memalui komisi ini berarti semua pihak yang berperkara menyerahkan sepenuhnya permasalahan mereka untuk diselesaikan secara independen tanpa ada tekanan dari pihak pelapor atau terlapor.
7. Rekonsilasi (Reconsiliation)
Model ini adalah proses penyelesaian konflik dimana pihak yang bersalah terlebih dahulu menyampaikan permohonan maafnya dan pihak lain memberikan maafnya dengan persyaratan bahwa mereka tidak melupakan masalah itu.
8. Negoisasi (Negoitation)
Terjadi tawar menawar dari berbagai pihak yang berkepentingan sehingga tercapai win-win solution atau justru lose-lose solution asal memuaskan kedua belah pihak. Elemen-elemen kunci dalam proses negoisasi adalah,
a. Kebuntuan yang dilihat secara bersama, kedua belah pihak mengalami kebuntuan yang dilihat bersama ( skakmat yang mematikan).
b. Menangkap peluang untuk penyelesaian masalah, masih ada waktu atau kesempatan yang matang untuk menyelesaiakan masalah. Namun, kesempatan itu harus dikenali, ditangkap dan digunakan bersama. Konflik yang berlangsung harus secara konstan dievaluasi, diamati untuk meyakinkan “jendela-jendela kesempatan” tidak sampai hilang.
c. Pentingnya kepercayaan, musuh tidak perlu menjadi kawan. Akan tetapi negosisasi memang membutuhkan adanya usaha kooperatif yang minimal.
d. Fleksibilitas, proses negoisasi tetap harus fleksibel, jika terlalu banyak prakondisi akan timbul hambatan dialog.
Teori Konflik
Beberapa teori tentang berbagai penyebab konflik memilik metode dan sasaran berbeda. Berikut sedikit penjelasan tentang teori-teori konflik, antara lain :
1. Teori Hubungan Masyarakat
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan, dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran penyelesaiain konfliknya adalah;
a) meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang berkonflik,
b) mengusahakan toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada.
2. Teori Negoisasi Prinsip.
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Sasaran yang ingin dicapai adalah;
a) membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan mendukung kemampuan mereka untuk melakukan negosisasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap,
b) melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semuanya.
3. Teori Kebutuhan Manusia.
Bahwa konflik yang berakar secara mendalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia ( fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan.
Sasaran yang ingin dicapai adalah;
a) membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasikan dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhan itu,
b) agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori Identitas.
Koflik disebabkan karena identitas yang terancam, yag sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.
Sasaran yang ingin dicapai adalah;
a) melalui dialog antara pihak yang berkonflik diharapkan mereka dapat mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan untuk membangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka,
b) meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5. Teori Kesalahpahaman Antar Budaya.
Konflik disebabkan karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran yang ingin dicapai adalah;
a) menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain,
b) mengurangi stererotip negatif yang mereka miliki terhadap pihak lain,
c) mengingkatkan keefektifan komunikasi antar budaya.
6. Teori Transformasi Konflik.
Konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran yang ingin dicapai adalah
a) mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi,
b) meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik,
c) mengembangkan berbagai proses dan sistem mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.
Konflik dapat berubah setiap saat tanpa dapat diprediksikan sebelumnya. Namun konflik dapat diamati melalui tahapan-tahapan mulai terjadinya konflik sampai selesainya konflik. Tahapan-tahapan itu adalah,
1. Pra konflik; yaitu periode yang mengandung suatu ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih; sehingga menimbulkan konflik. Konflik masih tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.
2. Konfrontasi; yaitu tahap dimana konflik semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah mungkin para pendukung lainnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah telah terjadi diantara kedua belah pihak. Setiap pihak mungkin mengumpulkan sumber daya kekuatan,mungin pula mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan antara kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah kepada polarisasi di antara para pendukung pada masing-masing pihak.
3. Krisis, merupakan puncak konflik. Ketika ketegangan dan atau kekerasan yang paling hebat. Dalam konflik skala besar, tahap ini merupakan periode perang, dimana orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
4. Akibat, yaitu sesuatu yang timbul akibat krisis. Satu pihak mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Pihak lain mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lawan. Kedua belah pihak mungkin setuju negoisasi, dengan atau tanpa perantara. Satu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun dengan kemungkinan ada penyelesaian.
5. Pasca konflik; yaitu tahap dimana pada akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi, kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tersebut tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
Manajemen konflik merupakan upaya pengendalian, mengatur atau mengelola agar konflik tidak berpotensi dan menjadi padam. Berbeda dengan resolusi konflik, yang bertujuan untuk memadamkan konflik, manajemen konflik berupaya untuk mengelolanya. Manajemen konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif dari pihak-pihak yang terlibat. Oleh karena konflik tidak dapat benar-benar dihilangkan maka yang perlu dilakukan adalah menatanya dan mengendalikannya. Beberapa konsep pengendalilan konflik adalah;
1. Akomodasi (penerimaan)
2. Kolaborasi (bekerjasama)
3. Avoidance (penghindaran)
4. Kompetisi. (persaingan)
Demikian sedikit penjelasan tentang polisi dan resolusi konflik. Semoga bermanfaat bagi anggota polisi yang bertugas di masyarakat dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian.